Selasa, 29 Mei 2018

Suku Dani


Tradisi potong jari Di Papua yang dilakukan oleh Suku Dani asli Indonesia adalah tradisi yang wajib, khususnya bagi orang tua perempuan sebagai salah satu bentuk rasa penyesalan jika ada salah satu dari anggota keluaraga mereka meninggal dunia.

Biasanya mereka melumuri dirinya dengan lumpur untuk jangka waktu tertentu. Namun yang membuat mereka berbeda dengan kebanyakan budaya dan tradisi suku didaerah lain yaitu memotong jari mereka sendiri. Memotong jari ini melambangkan kepedihan dan sakitnya bila kehilangan anggota keluarga, ungkapan yang begitu mendalam.

Sama halnya seperti Yakuza (organisasi garis keras di Jepang) yang wajib melakukan pemotongan jari bila melanggar peraturan yang sudah ditetapkan, atau gagal dalam melakukan misinya. Hal ini juga diartikan sebagai bentuk penyesalan atas apa yang sudah mereka lakukan.

Pemotongan jari ini mungkin terlihat menyeramkan bagi kita, karena setiap ada anggota keluarga yang meninggal dunia, saudara yang lain harus memotong jari mereka. Namun, hal ini sudah lumrah menurut suku  pedalaman di pegunungan Papua, karena sudah dilakukan secara turun-temurun.

Pada umumnya, pemotongan jari ini dilakukan oleh ibu-ibu. Namun besar kemungkinan pemotongan jari ini  melibatkan tangan orang tua laki-laki untuk dipotong. Hal ini diartikan sebagai upaya untuk mencegah agar tidak terulang kembali malapetaka yang merenggut nyawa anggota keluarga mereka.

Tradisi potong jari yang dilakukan Suku Dani ada beberapa cara, dari memotong dengan menggunakan benda tajam, mengikat jari kuat-kuat hingga berhenti aliran darahnya supaya mengurangi rasa sakit ketika dipotong, higga menggigitnya sampai putus. Memang terdengar mengerikan, namun bagi mereka ini hal yang wajar karena sudah menjadi tradisi mereka.

Suku pedalaman yang mempunyai tradisi ekstrim ini mempercayai bahwa rasa sakit yang rasakan, sama dengan rasa sakit karena ditinggal orang yang disayang. Hingga sampai saat ini, tradisi yang dilakukan oleh Suku Dani, yaitu memotong jarinya saat salah satu anggota keluarganya meninggal sudah berkurang.

Budaya Potong jari kini masih ada yang melakukannya namun saat ini sudah agak berkurang. Pasalnya sudah banyak beberapa agama yang masuk di pedalaman untuk menyempurnakan budaya mereka, serta memberikan pencerahan kepada mereka bahwa segala sesuatu yang datang, maka suatu saat akan pergi.

Semua wilayah memiliki tradisi dan budaya yang berbeda-beda. Hal ini yang membuat suatu wilayah atau suku, memiliki ciri khas dengan adanya tradisi yang mereka miliki, yang mengemas nilai-nilai kearifan lokal tersendiri yang harus kita jaga dan kita lestarikan dengan aturan masing-masing.

Tradisi Kedewasaan


Tradisi adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat disuatu negara atau tempat tertentu,  berupa kebudayaan, waktu, dan agama yang membentuk suatu kepercayaan, perilaku, peraturan, hingga cara hidup penduduk tersebut.

Sedangkan Budaya, merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generesi ke generasi yang terbentuk dari unsur agama, politik, adat istiadat, bahasa, pakaian, bangunan, hingga karya seni.

Tradisi dan budaya akan selalu berdampingan, dikarenakan kedua hal tersebut adalah salah satu cikal bakal suatu tempat yang diwariskan secara turun-temurun demi kelangsungan hidup penduduk sekitar agar memiliki ciri khas yang dapat menyiratkan nilai" positiv.

Ada sebuah Ritual yang mungkin bisa berakibat buruk karena pelaksanaannya yang bisa dibilang ekstrim bagi luar penduduk. Namun di sebuah negara, yaitu Brazil, terdapat suku pedalaman yang hidup didalam hutan Amazon bernama Suku Satere Mawe yang masih menjalankan berbagai ritual-ritual kuno.

Ritual Bullet Ant Glove (sarung tangan semut peluru) adalah sebuah ritual perjalanan hidup yang menandai masa transisi dari anak laki-laki menuju kedewasaan. Dan tradisi kuno mewajibkan penduduknya, terutama kaum pria untuk melakukan ritual ini guna mendapatkan anggapan kedewasaan.

Dalam hal ini mengharuskan anak laki-laki untuk memasukkan tangannya kedalam sarung tangan yang sudah terisi penuh dengan semut peluru, dan disaat itulah si anak harus merasakan dan menahan rasa sakit deri sengatan semut-semut yang ada di dalam sarung tangan tersebut.

Apabila si anak ini berhasil bertahan dalam waktu yang ditentukan, maka anak tersebut dianggap telah berhasil menjadi seorang laki-laki dewasa dan menjadi manusia seutuhnya yang siap menghadapi kehidupan semasa dewasa.

Tradisi yang kerap dilakukan oleh suku Satere Mawe sang penduduk hutan Amazon ini merupakan ritual yang sangat wajib dilakukan bagi kaum pria, yang konon  bertujuan agar kaum pria diakui atau dianggap sebagai seorang yang dewasa.

Semut yang digunakan untuk ritual ini juga salah satu semut yang memiliki bisa, dan sengatannya akan menimbulkan efek terasa terbakar saat semut ini menyengat bagian dari tubuh kita. Dan efek yang ditimbulkan dari sengatan tersebut akan bertahan selama 24 jam.

Semut Bullet Ant (semut peluru) hidup dihutan Amazon, dan semut ini adalah semut yang bisa membuat seseorang tidak sadarkan diri (pingsan), dan ada juga yang sampai tewas karena sengatannya. Semut ini memiliki ukuran tubuh yang lebih besar bila dibandingkan dengan semut lainnya.

Ritual Keboan


Ritual Keboan merupakan kearifan lokal masyarakat Desa Aliyan Banyuwangi yang masih dikemas dan dilestarikan hingga saat ini. Ritual yang bernuansa misits ini juga dilestarikan oleh warga desa Alasmalang yang juga di Banyuwangi.

Acara yang melibatkan sebagian warga desa untuk berdandan layaknya kerbau (keboan), dan wanita yang berdandan sebagai Dewi Sri sebagai pokok dari acara keboan ini. Acara ini juga dilengkapi dengan berbagai macam makanan untuk selamatan untuk berdoa bersama, dan berbagai hiasan hasil panen yang di hias di gapura desa sebagai syarat dari ritual keboan.

Upacara adat Keboan merupakan ritual bersih desa yang diselenggarakan oleh masyarakat Desa Alayan Banyuwangi, adalah bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahesa Esa atas rejeki berupa panen hasil bumi yang melimpah, serta meminta perlindungan agar dijauhkan dari hama dan penyakit selama setahun kedepan.

Keboan digelar setiap setahun sekali di pagi hari, tepatnya setiap bulan Suro (tahun hijriah di bulan Muharram) untuk mengawali musim bercocok tanam serta bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas hasil panen yang berlimpah di tahun sebelumnya.

Biasanya di Desa Aliyan, malam hari sebelum ritual Keboan ada tradisi Sonjo, Sonjo adalah bahsa using (suku khas Banyuwangi) yang berarti berkunjung. Warga desa Aliyan akan saling silaturahmi, berkunjung ke tetanga dan ngobrol santai dan disuguhkan kudapan khas Aliyan, serta kopi yang tidak dituang kedalam gelas. Melainkan ditaruh dalam teko, dan disediakan lepek untuk menikmati kopi tersebut.

Di pagi harinya sebelum melakukan Keboan, seluruh warga Desa Aliyan menggelar selamatan kampung yang di sertai doa sebelum makan bersama disepanjang jalan kampung yang dipimpin oleh tokoh masyarakat setempat di masjid melalui pengeras suara, agar warga sekitar dapat mendengar dan mengaminkan.

Selanjutnya usai acara doa dan makan bersama, satu persatu waga yang "terpilih" mendadak kesurupan dan bertingkah layaknya kerbau dan meronta-ronta setiap kali melihat kubangan air. Lalu dilanjutkan dengan prosesi ider bumi yaitu para warga yang sudah terpilih diajak keliling desa mengikuti empat penjuru mata angin.

Ritual Keboan adalah warisan budaya yang harus dilestarikan. Kegiatan ini masuk dalam agenda Banyuwangi Festival yang merupakan agenda pariwisata budaya dan tradisi asli Banyuwangi.

Senin, 28 Mei 2018

Sintren


Tari Sintren atau juga dikenal dengan Lais adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir Utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Tegal, Banyumas, Kuningan, dan Pekalongan.

Kesenian Tradisional ini diadakan untuk memeriahkan bersih desa atau sedekah bumi menurut warga setempat. Bersih desa atau yang biasa disebut sedekah bumi ini bukanlah suatu hal yang tabu, melainkan warisan budaya yang secara turun-temurun dilakukan setiap acara atau perayaan tertentu, dengan disertai selametan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas melimpahnya hasil bumi atau hasil pencaharian masyarakat setempat.

Hal seperti ini terkadang disalah artikan sebagai ritual yang bersifat negatif karena kesenian ini sedikit berbau mistis. Namun jika kita perhatikan, diawal dan diakhir pertunjukan sintren ini dilakukan do'a kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dilanjutkan dengan pertunjukan seni tari tradisional.

Menurut sejarahnya, sintren berawal dari percintaan Raden Sulandono dengan Sulasih yang tidak direstui oleh orang tua Raden Sulandono. Sehingga dengan perintah Ibunya, Raden Sulandono bertapa dan diberikan selembar kain sebagai sarana untuk bertemu dengan Sulasih setelah selesai bertapa. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari disetiap acara bersih desa yang diadakan, sebagai syarat agar dapat bertemu dengan Raden Sulandono.

Pada saat malam bulan purnama, Sulasih menari sebagai bentuk memeriahkan acara bersih desa. Dan pada saat itu juga, Raden Sulandono pun turun dari pertapaannya dengan cara sembunyi-sembunyi sambil membawa selembar kain yang diberikan oleh ibunya.

Sulasih menari dan dia pun dirasuki kekuatan Dewi Rantamsari sehingga Sulasih tidak sadarkan diri karena kesurupan. Melihat kejadian itu, Raden Sulandono langsung melemparkan kain tersebut dan Sulasih pun pingsan. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh Raden Sulandono, Sulasih dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam cinta.

Dari situlah sebutan Sintren dan Balangan muncul dan menjadi cikal bakal Tari Sintren ini. Sebagai penjelasan, istilah Sintren adalah keadaan penari mengalami trance (kesurupan). Dan Balangan adalah saat dimana Raden Sulandono melemparkan kain yang diberikan oleh ibunya.

Pertunjukan Tari Sintren biasanya diawali dengan dupan yang berarti ritual berdo'a bersama untuk memohon kepada Tuhan agar dijauhkan dari mara bahaya selama pertunjukan berlangsung. Dan dilanjutkan dengan paripurna (pawang memilih penari sintren), balangan (melempar sesuatu ke penari agar pingsan dan sadar), dan temohan yaitu para penari membawa nampan untuk meminta uang seikhlasnya kepada penonton.

Calon penari sintren harus memiliki syarat yaitu harus masih gadis atau perawan. Hal ini berlaku karena diharuskan tubuh si gadis dalam keadaan suci, serta melakukan puasa sebelum hari pertunjukan demi menjaga kesuciannya, agar tidak menyulitkan roh yang akan masuk dalam tubuhnya.

Di dalam pertunjukan sintren juga ada beberapa busana serta aksesoris dan yang biasa digunakan dan menjadi ciri khas dari sintren ini adalah kaca mata hitam.

Kebudayaan merupakan suatu hasil karya manusia berupa seni, adat, keyakinan, dan pengetahuan. Namun, Kearifan lokal dari Cirebon berupa Tari Sintren mulai menghilang seiring dengan perkembangan jaman dan ketidak ada an manusia yang melestarikan Budaya Jawa ini.

Sabtu, 26 Mei 2018

Tedak Siten


Tedak sinten adalah sebagian dari beberapa kearifan lokal yang ada di Indonesia yang berarti, turun ke bumi. 'Tedak' berarti turun dan 'Siten' berasal dari kata 'Siti' yang berarti tanah. Upacara tedak siten ini dilakukan sebagai rangkaian acara yang bertujuan agar anak tumbuh menjadi anak yang mandiri.

Bagi para leluhur, adat budaya ini dilakukan sebagai penghormatan kepada bumi tempat anak mulai menginjakkan kakinya ke tanah. Selain itu juga diiringi do'a-do'a dari orang tua dan sesepuh sebagai pengharapan agar kelak anak sukses menjalani kehidupan.

Tradisi ini dijalankan saat anak berusia tujuh bulan dari hari kelahirannya dalam hitungan pasaran jawa. Perlu diketahui juga bahwa hitungan satu bulan dalam pasaran jawa berjumlah 36 hari. Jadi bulan ke-tujuh kalender jawa bagi kelahiran si bayi setara dengan 8 bulan kalender masehi.

Upacara ini dilakukan di pagi hari dengan serangkaian makanan tradisional untuk selamatan. Makanan tradisional tersebut berupa jadah sejumlah 7 warna yaitu merah, putih, hitam, kuning, biru, jingga, dan ungu untuk prosesi menapakkan kaki bayi di atas jadah 7 warna.

Jadah ini menjadi simbol anak, dan warna-warni dari jadah sendiri menggambarkan jalan hidup yang harus dilalui kelak. Untuk penyusunan warnanya, dimulai dari warna hitam dan berakhir putih, menyimbolkan bahwa setiap permasalahan seberat apapun pasti akan ada titik terangnya.

Dilanjutkan dengan prosesi naik tangga yang terbuat dari tebu jenis arjuna, dan dihiasi kertas warna-warni. Tebu dalam filosofi jawa berarti "manteb ing kalbu". Ritul ini melambangkan harapan agar si bayi memiliki watak kesatria layaknya Arjuna(tokoh pewayangan yang dikenal tangguh, dan bertanggung jawab).

Dan proses selanjutnya yaitu memasukkan bayi di dalam kurungan ayam yang telah diihias dengan kertas warna-warni, serta dihadapkan dengan beberapa barang untuk dipilih. Barang yang di hadapkan seperti cincin atau uang, alat tulis, kipas, cermin, buku, dan pensil. Apapun yang diambil oleh si bayi, menyimbolkan hobi dan masa depannya.

Prosesi terakhir adalah memandikan bayi dengan menggunakan air kembang yang menyimbolkan si bayi, kelak akan membawa nama harum pribadi serta keluarganya.

Untuk makanan tradisional sebagai selamatan berupa tumpeng yang akan di makan bersama keluarga dan tamu-tamu undangan. Tumpeng sendiri menjadi simbol permohonan orang tua agar kelak menjadi anak yang berguna. Sayur kangkung sebagai simbol kesejahteraan, kecambah sebagai simbol kesuburan, kacang panjang sebagai simbol umur panjang, dan ayam sebagai simbol kemandirian.

Upacara tedak sinten merupakan adat budaya yang harus dilestarikan agar tetap terjaga nilai-nilai kebudayaan Indonesia yang mempunyai pesan moral bagi para penerusnya.

Jumat, 25 Mei 2018

Budaya Mencukur Rambut Bayi


Budaya mencukur rambut bayi atau Akikah, transliterasi Aqiqah adalah pengurbanan hewan dalam syariat Islam, sebagai bentuk rasa syukur umat Islam terhadap Allah SWT yang telah mengaruniai hambanya dengan melahirkan seorang bayi. Hukum akikah menurut pendapat yang paling kuat adalah sunah muakkadah, dan ini adalah pendapat jumhur ulama menurut hadits.

Akar rambut terbentuk sejak janin berusia sekitar 8 minggu dan terus berkembang hingga lahir. Rambut pertama ini diistilahkan dengan “velus”. Meski tak bisa digeneralisasi, rambut bawaan bayi yang baru lahir biasanya sangat tipis.

Dari sejak minggu-minggu pertama kelahirannya hingga 12 minggu kemudian, biasanya rambut halus ini akan rontok dengan sendirinya. Kendati ada juga yang kerontokannya sangat sedikit, seakan-akan tidak berkurang sama sekali.

Budaya mecukur rambut bayi ini merupakan suatu nilai yang telah dilakukan secara turun temurun, sehingga apapun adat dan tradisi yang ada di Indonesia adalah warisan kebudayaan yang bisa juga disebut dengan kearifan lokal.

Jadi, pada dasarnya adalah hasil karya, cipta, rasa, karsa manusia.  Dan setiap kebudayaan mempunyai maksud tersendiri yang berisikan pesan moral dan nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai inilah yang mengambil peran dalam setiap langkah manusia dalam melakukan sesuatu.

pelaksanaan akikah dapat dilakukan pada hari ketujuh, hari keempat belas, hari ke dua puluh satu atau pada hari-hari lainnya yang memungkinkan. namun, tak jarang orangtua melangsungkan acara akikah pada 40 hari disesuaikan dengan tradisi dan adat istiadat dimana ia tinggal.

Tradisi mencukur rambut bayi ini tidak hanya dilaksanakan oleh umat Islam saja, agama yang lain juga melakukan tradisi mencukur rambut bayi dengan kepercayaan yang mereka anut dengan tujuan yang positiv.

Untuk perayaannya, biasanya ada penyembelihan kambing yang menurut syariat Islam adalah qurban aqiqah. Hal ini merupakan sarana yang dapat merealisasikan prinsip-prinsip keadilan sosial dan menghapuskan gejala kemiskinan di dalam masyarakat, misalnya dengan adanya daging kambing yang disembelih kemudian dikirim dan di bagikan kepada fakir miskin.

Selasa, 22 Mei 2018

Pendem Wedus Kendit



Dataran tinggi Dieng adalah salah satu kota yang juga mempunyai kegiatan adat budaya yaitu, Ritual Pendem Wedus Kendit. Tradisi ini adalah memendam kepala dan kaki kambing secara terpisah.

Namun dari kata kendit ini sendiri adalah kambing yang memiliki warna hitam, dan memiliki corak putih yang melingkar di perut kembing. Penduduk sekitar menyebutnya dengan wedus kendit (kambing kendit).

Ritual penguburan kambing kendit sendiri merupakan puncak dari ritual yang dilakukan sebelumnya yaitu berkeliling kampung selama 7 kali tiap malam jum’at oleh warga dari jam 11.00 hingga jam 01.00 pagi.

Setelah genap tujuh jum’at maka barulah kemudian ditentukan hari dimana akan dilaksanakannya ritual penguburan kepala dan kaki kambing kendit.

Ketika hari itu tiba maka sejak pagi hari, diantara kabut tebal dan udara dingin yang menusuk sumsum semua warga keluar dari rumah masing-masing dengan membawa nasi tumpeng, golongan, jajanan pasar, serta ingkung (daging ayam).

Menuju sebuah panggung yang berdiri di halaman salah satu sesepuh Desa dimana upacara adat tersebut akan dilaksanakan. Selain beberapa makanan tradisional selaku pelengkap upacara pendem wedus kendit ini.

Makna dari penguburan kepala kambing ini konon adalah bahwa dengan dikuburkannya kepala kambing di tengah-tengah pemukiman diharapkan nantinya tidak ada lagi rasa permusuhan dan besar kepala di antara warga.

Sedangkan makna simbolis daripada penguburan kaki kambing itu sendiri adalah untuk menjaga segala mentuk musibah yang akan mendatangi warga desa tersebut.

Menurut penduduk setempat meyakini sebagai cara untuk menjaga kerukunan warga agar tidak saling berkelahi dan selalu dalam keterntaraman.

Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat.

Dan berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan.