Senin, 28 Mei 2018

Sintren


Tari Sintren atau juga dikenal dengan Lais adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir Utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Tegal, Banyumas, Kuningan, dan Pekalongan.

Kesenian Tradisional ini diadakan untuk memeriahkan bersih desa atau sedekah bumi menurut warga setempat. Bersih desa atau yang biasa disebut sedekah bumi ini bukanlah suatu hal yang tabu, melainkan warisan budaya yang secara turun-temurun dilakukan setiap acara atau perayaan tertentu, dengan disertai selametan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas melimpahnya hasil bumi atau hasil pencaharian masyarakat setempat.

Hal seperti ini terkadang disalah artikan sebagai ritual yang bersifat negatif karena kesenian ini sedikit berbau mistis. Namun jika kita perhatikan, diawal dan diakhir pertunjukan sintren ini dilakukan do'a kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dilanjutkan dengan pertunjukan seni tari tradisional.

Menurut sejarahnya, sintren berawal dari percintaan Raden Sulandono dengan Sulasih yang tidak direstui oleh orang tua Raden Sulandono. Sehingga dengan perintah Ibunya, Raden Sulandono bertapa dan diberikan selembar kain sebagai sarana untuk bertemu dengan Sulasih setelah selesai bertapa. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari disetiap acara bersih desa yang diadakan, sebagai syarat agar dapat bertemu dengan Raden Sulandono.

Pada saat malam bulan purnama, Sulasih menari sebagai bentuk memeriahkan acara bersih desa. Dan pada saat itu juga, Raden Sulandono pun turun dari pertapaannya dengan cara sembunyi-sembunyi sambil membawa selembar kain yang diberikan oleh ibunya.

Sulasih menari dan dia pun dirasuki kekuatan Dewi Rantamsari sehingga Sulasih tidak sadarkan diri karena kesurupan. Melihat kejadian itu, Raden Sulandono langsung melemparkan kain tersebut dan Sulasih pun pingsan. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh Raden Sulandono, Sulasih dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam cinta.

Dari situlah sebutan Sintren dan Balangan muncul dan menjadi cikal bakal Tari Sintren ini. Sebagai penjelasan, istilah Sintren adalah keadaan penari mengalami trance (kesurupan). Dan Balangan adalah saat dimana Raden Sulandono melemparkan kain yang diberikan oleh ibunya.

Pertunjukan Tari Sintren biasanya diawali dengan dupan yang berarti ritual berdo'a bersama untuk memohon kepada Tuhan agar dijauhkan dari mara bahaya selama pertunjukan berlangsung. Dan dilanjutkan dengan paripurna (pawang memilih penari sintren), balangan (melempar sesuatu ke penari agar pingsan dan sadar), dan temohan yaitu para penari membawa nampan untuk meminta uang seikhlasnya kepada penonton.

Calon penari sintren harus memiliki syarat yaitu harus masih gadis atau perawan. Hal ini berlaku karena diharuskan tubuh si gadis dalam keadaan suci, serta melakukan puasa sebelum hari pertunjukan demi menjaga kesuciannya, agar tidak menyulitkan roh yang akan masuk dalam tubuhnya.

Di dalam pertunjukan sintren juga ada beberapa busana serta aksesoris dan yang biasa digunakan dan menjadi ciri khas dari sintren ini adalah kaca mata hitam.

Kebudayaan merupakan suatu hasil karya manusia berupa seni, adat, keyakinan, dan pengetahuan. Namun, Kearifan lokal dari Cirebon berupa Tari Sintren mulai menghilang seiring dengan perkembangan jaman dan ketidak ada an manusia yang melestarikan Budaya Jawa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar